Professional Development For Cognitive
Acceleration: Initiation
I.
PENDAHULUAN
Kehebatan
seorang guru adalah apabila dia berhasil membuat siswanya menguasai materi
pelajaran dan bisa mengaplikasikan materi tersebut, apalah artinya jika seorang
guru pintar tetapi tidak bisa mengaplikasi ilmu tersebut kepada siswa didiknya,
semuanya akan tampak tidak berarti (meaningless).
Memahami gaya belajar siswa adalah hal yang penting karena setiap siswa
memiliki gaya belajar yang berbeda (different
way) (Oxford, 2002), maka dari itu teknik mengajar harus disesuaikan dengan
gaya belajar siswa dan tidak ada pemaksaan terhadap siswa secara individu.
Setiap siswa
mempunyai tingkat kecerdasan yang berbeda, ada yang sangat cepat menangkap
materi pelajaran tetapi ada juga yang sangat lamban dalam menangkap pelajaran,
untuk itulah guru harus mempunyai kemampuan dalam memahami tingkat kecerdasan
tersebut. Dalam pembelajaran guru tidak bisa memberikan perlakuan yang sama
terhadap siswa, karena siswa yang kurang berbeda tingkat pemikirannya (cognitive) dengan siswa yang cerdas,
maka dari itu perlu pembiasaan terhadap guru agar bisa melihat dan memahami
tingkat kognitif tersebut.
Dalam penulisan
makalah ini penulis lebih banyak membahas tentang kognitif dan akselerasi
kognitif siswa berdasarkan buku Philip Adey (2005), bagaimana sejarah, landasan
teori dan bagaimana program-program tersebut dilaksanakan.
II.
GAMBARAN AKSELERASI KOGNITIF
SECARA UMUM
Sejumlah program intervensi telah
dirancang untuk mengajarkan keterampilan berpikir di dalam mata pelajaran
tertentu. Salah satu program intervensi kognitif yang paling efektif
pelaksanaannya adalah proyek CASE (Cognitive Acceleration in Science
Education) yang dirancang oleh Adey dan Shayer (1994) di Inggris. Proyek
ini didasarkan pada pemikiran Piaget dan Vygotsky dengan maksud membawa siswa
ke tingkat berpikir operasional formal, sebagian dengan membuat mereka sebanyak
mungkin bekerja di dalam zone of proximal development (kesenjangan
antara apa yang dapat dilakukan sendiri dan apa yang dapat dilakukan dengan
bantuan orang lain yang lebih ahli atau memiliki lebih banyak pengetahuan).
Program ini bersifat spesifik subyek, yang dikembangkan untuk sains. Program
ini berisi topik-topik sains tertentu di masing-masing pelajarannya.
Adapun program akselerasi kognitif yang dilaksanakan
tersebut akan tercantum dalm tabel berikut (Adey, 2004, p. 18):
Table 2.1:
Pengembangan Professi Akselerasi Kognitif
Proyek
|
Rentang
Umur
|
Fase R
& D
|
Dana
|
Fase PD
|
Materi
yang dipublikasikan
|
Penilaian
nilai tambah
|
Peneliti2
Utama
|
CASE
|
12-14
th
|
1984-1987
|
SSRC
|
1991
berlanjut
|
Thingking
science, Nelson 1989
|
GCSE
1995 on and KS3 tests
|
Shayer,
Adey, yales
|
CAME
|
12-14
th
|
1993-1997
|
Leverhulme
E. Fairbain, ESRC
|
1997
berlanjut
|
Thingkin
Mathematics Heinemann 1998
|
GSCE
2001 on and KS3 tests
|
Shayer,
ADhami, Johnson
|
CATE
|
12-16
th
|
1994-2000
|
Greenwich
LEA?
|
2001
berlanjut
|
CATE
Nigel Blagg 2002
|
KS3
2001
|
Hamaker,
Backwell
|
Wigan ARTS
|
12-14
th
|
1999-2002
|
Wigan
LEA
|
2003
berlanjut
|
Wigan
LEA
|
KS3
2002
|
Gouge,
Yates, Wigan ARTS grpou
|
Thinking Arts
|
9-11
th
|
2002-2003
|
Cognitive
Acceleration programs
|
2001
berlanjut
|
|
|
Gouge
and Yates
|
CAME@KS2
|
9-11
th
|
1997-2000
|
Leverhume
trust
|
2003
berlanjut
|
BEAM
2002
|
KS2
2003 berlanjut
|
Johnson,
Adhami, Shayer, Hafeez
|
CA@KS1
|
5-6
th
|
1998-2001
|
Hammer-smith
LEA
|
2001
berlanjut
|
Let’s
think ! NferNElson 2001
|
KS1
2001 dan 2002
|
Adey,
Robertson, Venville
|
CASE@KS2
|
7-8
th
|
2000-2002
|
Astra
Zenneca science
|
2002
berlanjut
|
Let’s
think! Through science nferNelson 2003
|
|
Wilson,
Adey Dillon, Robertson
|
CAME@KS1
|
6-7
th
|
2001-
|
ESRC
|
|
|
|
Shayer,
Adhami Roberston
|
Source:
Adey (2004, p.18)
Dan
telah diterapkan di berbagai Negara di dunia, seperti pada tabel 2.2 berikut
ini:
Tabel
2.2
Beberapa
aplikasi internasional tentang akselerasi kognitif
Australia: Perth
|
:
|
Grady
Venville, Curtin University, is instroducing Let’s think! Into one school and
planning further research
|
Australia: Townsville
|
:
|
Lorna Endler & Trevor Bond (2001) implemented CASE
with acohort of three grade 8 classes and report extra cognitive growth between
grades 8 and 10 for most students across the ability range with significant
correlation between cognitive development and the scholastic achievement
|
Finlandia
|
:
|
Jarkko Hautamäki, Helsinki University, has been conducting
cognitive assessments since the 1970s and introducing cognitive acceleration
since the ‘80s. Recently, with Jorma Kuusela, they have conducted an
extraordinary experimental test of the effects of CASE and CAME in a town’s
school system (Hautamäki, Kuusela, & Wikström, 2002)
|
Jerman
|
:
|
Adey, Shayer, & Yates (1993) is the German version of Thinking
Science. There were some trials of the material in schools associated
with the University of Bremen.
|
Holland
|
:
|
Martin van Os and Peter van Aalten have introduced Thinking
Science (Denklessen) into many schools in Holland, where it is taught by
non-science teachers in a social period.
|
Israel
|
:
|
We believe that there has been some unauthorised translation
of Thinking Science into Hebrew.
|
Korea
|
:
|
Byung-Soon Choi at the National Teachers University and
Jeong- Hee Nam at Pusan University have made extensive trials of CASE (Choi
& Han, 2002; Nam, Choi, Lee, & Choi, 2002).
|
Palestina
|
:
|
Around 1997 Carolyn Yates worked with the Palestinian Education
Authority to introduce CASE into West Bank schools. The current destruction
of the education authority in Ramallah has halted further progress on this,
but Dua’ Dajani of Qattan Centre for Educational Research is translating and
introducing Let’s Think! into some primary schools in Gaza.
|
Slovenia
|
:
|
Dusan Krnel of the University of Lublijana is leading a
group of CASE trainers to introduce CASE into schools.
|
USA: Arizona
|
:
|
About 1992 the Glendale school district in Phoenix
introduced CASE into all of its high schools and also wrote many more activities
so that cognitive acceleration became the science course of the freshman
year. Jim Forsman was the District science
inspector responsible, and Jolene Henrickson (née Barber)
a teacher who devised many of the new activities (Forsman, Adey, &
Barber, 1993).
|
USA: Oregon
|
|
A Scientific Thinking Enhancement Project was set up in
1999 and student progress was monitored by Endler and Bond (2001). The
intervention was implemented with three cohorts of in 6th, 7th and 8th
grades. Preliminary results show gains in cognitive development for STEP
students in all three cohorts.
|
Source:
Adey (2004, p.19)
III.
DASAR-DASAR TEORI AKSELERASI
KOGNITIF
Banyak
teori-teori yang telah dikembangkan oleh ahli psikologi pendidikan tentang
kognitif dan beberapa diantaranya adalah piaget dan vygotsky, mereka adalah
pendahulu-pendahulu yang membuat teori tentang kognitif dan masih digunakan
saat ini, salah satunya adalah teori akselerasi kognitif yang telah
dikembangkan oleh Philip Adey pada tahun 1984 dengan proyek CASE dan proyek ini
sukses dilaksanakan sehingga dikembangkan juga di Negara-negara lainnya.
Menurut Adey (2004)
ada tiga pilar dalam akselerasi kognitif, yaitu: Kognitif konflik (Cognitive Conflict), konstruksi sosial (social constsruction), dan metakognitif
(metacognitive). Kognitif konflik
adalah berasal dari prinsip Piaget: ketika pikiran sedang dihadapkan dengan
masalah maka kognitif konfliklah yang menjadi penyelesainya, misalnya: sewaktu
pembelajaran di kelas kadang siswa dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan baik oleh guru maupun oleh teman sekelas sewaktu diskusi, jika
pertanyaan tersebut dikategorikan dengan pertanyaan yang sukar, maka siswa akan
berpikir keras sehingga masalah dalam persoalan tersebut dapat terselesaikan
baik secara individu maupun secara kelompok. Perlu diingat bahwa kognitif
konflik di setiap individu atau siswa itu berbeda (Adey, 2004, p.21) maka guru
harus bisa mengatur tingkat kesulitan tersebut.
Pilar yang kedua
adalah konstruksi sosial (social
construction) yang berasal dari paham Vygotsky atau Vygotskyan psychology dimana siswa diajarkan untuk berinteraksi
sosial terhadap teman-teman sekelas dan sekolah. Untuk pengembangannya dalam
pembelajaran bisa dibentuk kelompok-kelompok kecil yang berdasarkan diskusi
tugas/materi (task-discussion) (Adey,
2004). Di dalam kelompok tersebut guru harus membagikan tugas kepada masing-masing
kelompok, dimana masing-masing kelompok bertanggungjawab terhadap tugas yang
diberikan misalnya ada bagian kelompok yang mempresentasikan dan ada bagian
kelompok yang menyimak dan memberikan pertanyaan, namun semua kelompok harus
juga mempresentasikan hasil diskusinya. Di internal kelompok juga harus dibagikan
tugas kepada masing-masing anggota, ada individu yang bertindak sebagai master of ceremony, ada individu yang
bertindak sebagai pemapar materi dan ada yang berperan sebagai notulen, jadi nanti
akan terlihat keaktifan siswa tersebut dan dari kegiatan task-discussion inilah konstruksi sosialnya akan terbentuk (Adey,
2004).
Yang terakhir
adalah pilar metakognitif (metacognitive)
atau “intellectual” siswa. Siswa
diharapkan akan menjadi pemecah masalah (solving
problem) baik bagi dirinya maupun bagi kelompoknya. Tetapi tingkat
kepemilikan metacognitive siswa adalah berbeda untuk masing-masing individu,
maka dari itu guru harus memiliki kepekaan terhadap pilar yang ketiga ini, dan
proses ini bisa dilatih agar siswa memiliki keahlian dalam berpikir tingkat
metacognitif. Menurut Tovani (2000) kemampuan menggunakan metakognitif akan
memudah kan siswa dalam memahami bacaan/teks. Jadi multi fungsi akan didapatkan
dari kemampuan metakognitif ini.
Dari ketiga
pilar tersebut kognitif konflik, konstruksi sosial dan metakognitif, dan yang
tersulit adalah membentuk metakognitif siswa. Pada tahap awal siswa akan
berjuang untuk sebuah masalah, dia akan berpikir bagaimana bisa menyelesaikan
masalah tersebut, dan inilah tahap kognitif konflik, kemudia siswa berinteraksi
dan memecahkan masalah bersama dalam konstuksi sosial dan terakhir siswa
menjadi pemikir dan pemecah masalah. Untuk dapat memecahkan masalah tentunya
siswa harus memiliki tingkat kognitif yang tinggi, dan ini bisa dilatih melalui
program yang telah dilaksanakan oleh Philip Adey di Inggris, dan beberapa yang
terkenal adalah CASE (Cognitive
Acceleration Science Education) dan CAME (Cognitive Acceleration Mathematics Education) (Adey, 2004).
Ada beberapa
perbandingan Program akselerasi kognitif (CA-Type
Intervention) dan sistem pengajaran yang baik (Adey, 2004, p.23).
Tabel 3.1 Perbandingan
Pengajaran yang baik
|
Program Akselerasi kognitif
|
Perintah yang beraturan
|
Mengikuti arah argumen
|
Tujuan yang khusus
|
Tujuan bisa dilihat
|
Paket kecil, dipaksakan
|
Siswa sering kesulitan
|
Banyak yang harus disampaikan
|
Ssedikit yang disampaikan
|
Siswa mempunyai catatan untuk
perbaikan
|
Tidak ada yang jelas untuk di
tunjukan
|
Anda tahu apa yang harus
dialaksanakan
|
Tidak yakin apa yang harus
dialaksanakan
|
Relatif mudah
|
Kelihatannya bahaya
|
Jika melihat
daftar perbedaan yang ditulis oleh Adey (2004), maka terlihat bahwa tidak semua
program pada akselerasi kognitif (CA) itu lebih baik dibandingkan dengan
pengajaran yang baik atau yang biasa kita lakukan, namun perbandingan itu bisa
dijadikan pedoman bahwa kedua program tersebut bisa saling melengkapi (complementary) dan menjadi program CA
yang baik yang tentunya akan mengembangkan aspek kognitif siswa.
IV.
PROGRAM PD (PROFESSIONAL
DEVELOPMENT UNTUK CASE: 1991
Program CASE in sukses diadakan di berbagai Negara,
Di Inggris berbagai pelatihan guru juga banyak di isi oleh program CASE yang
menitikberatkan pada percepatan kognitif siswa dalam menyelesai kan masalah.
Program yang awalnya terpokus pada anak-anak usia 7 dan 8 tahun ini telah
terbukti dapat meningkatkan nilai skor dalam pembelajaran (Adey, 2004, p.25)
dan hasil ini terbukti lewat penelitian yang dilakukan oleh Adey dan Shayer
pada tahun 1993 yang telah dilaporkan baik lewat surat kabar nasional maupun
lewat dokumentasi televisi pada saat itu.
Program CASE juga sudah berhasil dalam menaikan
standard pendidikan (raising standard)
di Inggris, sehingga membuat banyak kepala sekolah mempertimbangkan untuk mengadopsi
program CASE tersebut sehingga mereka juga dapat meningkatkan standar
pendidikan di sekolahnya masing-masing.
Agar pelaksanaan program CASE ini berjalan efektif,
maka Philip Adey menetapkan beberapa prinsip, diantaranya yaitu:
1.
Program harus dilaksanaka paling kurang
dua tahun, sejajar dengan program CASE sebelumnya;
2. Program
harus memasukkan inservice day dan in-school coaching
3.
Program harus melibatkan semua anggota
atau guru sains yang ada di departemen atau paling tidak sekolah;
Menurut Adey (2004) di dalam isi program haruslah
memuat beberapa hal berikut:
1.
Teori
2.
Pelatihan
3.
Manajemen
4.
Teknik
5.
Kepemilikan
V.
PROGRAM
Program CA PD (Cognitive Acceleration Professional Development) akan berjalan
dengan baik jika prinsip dan isi program yang telah dipaparkan diatas telah
ditetapkan dengan baik. Maka pada July 1991 prgram CA dimulai pada beberapa
sekolah yang telah mendaftar (Adey, 2004). Kegiatan-kegiatannya adalah sebagai
berikut:
·
2 hari INSET (Inservice education of teacher), dimulai pada awal masuk sekolah
dimana program CASE pertama kali di perkenalkan. Guru di izinkan untuk melihat
materi-materi yang ada dalam program.
·
2 hari INSET pada bulan januari,
dilakukan setelah jam sekolah dan setelah program berjalan satu semester,
sehingga guru dapat berbagi pengalaman mereka tentang apa yang sudah mereka
dapat kan dari program tersebut.
·
1 hari INSET di bulan Mei pada awal
masuk sekolah. Membahas feedback tentang program dan guru menulis tentang
pengalam CA pribadinya, serta pengalaman dalam mengaplikasikan ketiga pilar CA
yaitu: Cognitive conflict, social
construction, metacognitive.
·
1 hari INSET di bulan Oktober, dalam
awal bulan semester pada tahun ke dua. Memperkenalkan program kepada guru-guru
yang baru dan memikirkan untuk program ke tahun berikutnya.
·
1 hari INSET di bulan Juni, akhir semua
program. Melakukan post-test
·
5 setengah hari dikunjungi oleh pengajar
CA
Daftar
Pustaka
Adey, P. (2004).
The Professional Development of Teachers: Practice and Theory, KLUWER
ACADEMIC PUBLISHERS.
Oxford,
R. L. (2002). Sources of variation in language learning. In R. B. Kaplan (ed.),
the oxford handbook of applied linguistics (3rd edn). New York:
Oxford University Press, 245-253.
Padget, S.
Creativity, critical Thinking and pedagogy, Merseyside, Cheshire and Greater
Manchester Teacher Training Consortium: 35.
Tovani, C.
(2000). I read it, But I don't get it. Colorado, Stenhouse Publishers Portland
, Maine.